ASMA
1. PENGERTIAN
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif
intermiten, reversible dimana trakea dan bronkus berespon dalam secara
hiperaktif terhadap stimuli tertentu, dan dimanifestasikan dengan penyempitan
jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. (Brunner &
Suddarth, Edisi 8, Vol. 1, 2001. Hal. 611)
2. KLASIFIKASI
1. Mid
Intermiten
Yaitu kurang dari 2
kali seminggu dan hanya dalam waktu yang pendek atau serangan singkat; tanpa
gejala, diantaraserangan-serangan pada waktu malam kurang dari 2 kali sebulan.
2. Mid
Persistent
Yaitu serangan lebih
ringan tetapi tidak setiap hari, serangan pada malam hari timbul lebih dari 2
kali sebulan dan dapat mengganggu aktiviti dan tidur.
3. Moderat
Persistent
Yaitu serangan timbul
setiap hari dan memerlukan penggunaan bronkodilator serangan timbul 2 kali atau
lebih dalam seminggu dan pada waktu malam timbul gejala berat setiap minggu.
4. Servere
persistent
Yaitu gejala muncul
terus menerus dengan aktivitas yang terbatas, peningkatan frekuensi serangan
dan peningkatan frekuensi gejala pada waktu malam.
3. ETIOLOGI
1. Faktor
Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah
kecil pasien dan disebabkan oleh alergen yang diketahui karena kepekaan
individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari yang hidup, bulu halus
binatang, kain pembalut atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu
atau coklat, polusi.
2. Faktor
Intrinsik
Faktor ini sering tidak
ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor non spefisik seperti
flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma instrinsik
ini lebih biasanya karena faktor keturunan dan juga sering timbul sesudah usia
40 tahun. Dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada
percabangan trakeobronchial.
4. EPIDEMOLOGI
Asma
adalah penyebab utama penyakit akut dan kronik pada anak. Data dari the
national center for health care stastistics menunjukkan bahwa prevalensi asma
diantara anak berusia 17 tahun meningkat 58% selama 1970an. Dari 1971 samapi
1974, 4,8% dari anak berusia 6 sampai 11 tahun menyatakan bahwa mereka menyidap
asma; dari 1976 sampai 1980, 7,6% berespons secara positip. Selain itu, angka
perawatan dirumah sakit sangat meningkat (terutama pada orang amerika afrika)
selama 13 tahun dari 1965-1978 (dari 46 menjadi 89 per 100.000 anak berkulit
putih berusia kurang dari 15 tahun, dan dari 85 menjadi 309 per 100.000 anak
amerika afrika berusia kurang dari 15 tahun). Angka perawatan dirumah sakit
keselurahan meningkat 43% dari tahun 1979-1987. Kematian anak akibat asma
meningkat lebih dari 2 kali lipat, dari 54 pada tahun 1977 menjadi 111 pada
tahun 1983. Resiko kematian akibat asma pada tahun 1987 hampit 3 kali lipat
lebih tinggi pada orang amerika keturunan afrika dari pada orang berkulit
putih.
5. PATOFISIOLOGI
Asma adalah
obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau lebih dari
faktor berikut ini.
1.
Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi yang
menyempitkan jalan nafas.
2.
Pembengkakan membran yang melapisi bronchi.
3.
Pengisian bronchi dengan mukus yang kental.
Selain itu,
otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara terperangkap di
dalam paru. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast
dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen
dengan antibodi menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (mediator) seperti:
histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari suptamin yang
bereaksi lambat.
Pelepasan
mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas menyebabkan
broncho spasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat
banyak.
Sistem
syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh impuls syaraf
pagal melalui sistem para simpatis. Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika
ujung syaraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan,
udara dingin, merokok, emosi dan polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan
meningkat. Pelepasan astilkolin ini secara langsung menyebabkan bronchikonstriksi
juga merangsang pembentukan mediator kimiawi.
Pada
serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan mengadakan
hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2. Hiperventilasi ini akan
menyebabkan pengeluaran CO2 berlebihan dan selanjutnya mengakibatkan
tekanan CO2 darah arteri (pa CO2) menurun sehingga
terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila serangan asma lebih
berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak ikut sama sekali
dalam pertukaran gas. Sekarang ventilasi tidak mencukupi lagi, hipoksemia
bertambah berat, kerja otot-otot pernafasan bertambah berat dan produksi CO2
yang meningkat disertai ventilasi alveolar yang menurun menyebabkan retensi CO2
dalam darah (Hypercapnia) dan terjadi asidosis respiratori (pH menurun).
Stadium ini kita kenal dengan gagal nafas.
6. MANIFESTASI
KLINIS
1. Stadium
Dini
Faktor hipersekresi
yang lebih menonjol
v Batuk
dengan dahak bisa dengan maupun tanpa
pilek
v Ronchi
basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul
v Whezing
belum ada
v BGA
belum patologis
Faktor spasme
v Timbul
sesak napas dengan atau tanpa sputum
v Whezing
v Ronchi
basah bila terdapat hipersekresi
v Penurunan
tekanan parsial O2
2. Stadium
Lanjut/Kronik
v Batuk,
ronchi
v Sesak
napas berat dan seolah-olah tertekan
v Dahak
lengket dan sulit untuk dikeluarkan
v Suara
napas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)
v Tampak
tarikan otot sternokleidomastoideus
v Sianosis
7. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
a. Test
Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru
adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji obstruksi jalan napas akut.
Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas darah ( respirasi
asidosis) , mungkin menandakan bahwa pasien menjadi lelah dan akan membutuhkan
ventilasi mekanis, adalah criteria lain yang menandakan kebutuhan akan
perawatan di rumah sakit. Meskipun kebanyakan pasien tidak membutuhkan
ventilasi mekanis, tindakan ini digunakan bila pasien dalam keadaan gagal napas
atau pada mereka yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya bernapas atau
mereka yang kondisinya tidak berespons terhadap pengobatan awal.
b. Pemeriksaan
Gas Darah Arteri
Dilakukan jika pasien
tidak mampu melakukan maneuver fungsi pernapasan karena obstruksi berat atau
keletihan, atau bila pasien tidak berespon terhadap tindakan. Respirasi alkalosis
( CO2 rendah ) adalah temuan yang paling umum pada pasien
asmatik. Peningkatan PCO2 ( ke kadar normal atau kadar yang
menandakan respirasi asidosis ) seringkali merupakan tanda bahaya serangan
gagal napas. Adanya hipoksia berat, PaO2 < 60 mmHg serta
nilai pH darah rendah.
c. Pemeriksaan
Foto Thoraks
Pemeriksaan ini
terutama dilakukan untuk melihat hal – hal yang ikut memperburuk atau
komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat penangan seperti atelektasis,
pneumonia, dan pneumothoraks. Pada serangan asma berat gambaran radiologis
thoraks memperlihatkan suatu hiperlusensi, pelebaran ruang interkostal dan
diagfragma yang menurun. Semua gambaran ini akan hilang seiring dengan
hilangnya serangan asma tersebut.
d. Elektrodiografi
Tanda – tanda abnormalitas
sementara dan refersible setelah terjadi perbaikanklinis adalah gelombang P
meninggi ( P pulmonal ), takikardi dengan atau tanpa aritmea supraventrikuler,
tanda – tanda hipertrofi ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan.
8. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum dalam
pengobatan pada asma :
a. Menghilangkan
obstruksi jalan napas
b. Mengenal
dan menghindari faktor yang dapat menimbulkan serangan asma.
c. Memberi
penerapan kepada penderita atau keluarga dalam cara pengobatan maupun
penjelasan penyakit.
Penatalaksanaan asma
dapat dibagi atas :
a. Pengobatan
dengan obat-obatan seperti;
1. Beta
agonist (beta adrenergik agent)
2. Methylxanlines
(enphy bronkodilator)
3. kortikosteroid
4. mast
cell inhibitor (lewat inhalasi)
b. Tindaka
spesifik tergantung dari penyakitnya, misalnya :
1. Oksigen
4-6 liter/menit.
2. Agonis
B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi
nabulezer dan pemberiannya dapat di ulang setiap 30 menit-1 jam. Pemberian
agonis B2 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dextrose 5% diberikan perlahan.
3. Aminofilin
bolus IV 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam.
4. Kortikosteroid
hidrokortison 100-200 mg itu jika tidak ada respon segera atau klien sedang
menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.
9. PATHWAYS
DAFTAR
PUSTAKA
Brunner
& Sddarth. 2001. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1. Jakarta.EGC
Mangunnegoro,hadioarto
dkk. 2006. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Asma. Jakarta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Suriadi
dan Yuliana R. 2001. Asuhan Keperawatan
pada Anak. Edisi 1. Jakarta. Penerbit CV Sagung Seto